Kuliah Umum Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir

Pada Kamis, 27 September 2018, Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IAT) mengadakan kuliah umum bertajuk “Pergeseran Teologi: Dari Teosentris ke Antroposentris.” Acara yang diadakan di Teatrikal Fakultas Ushuluddin ini menghadirkan Dr. Aksin Wijaya, wakil ketua program pascasarjana IAIN Ponorogo. Tema ini diadopsi dari buku terakhir Dr. Aksin yang diterbitkan oleh penerbit Mizan, yang juga merupakan pihak kerjasama untuk acara tersebut. Acara dibuka dengan sambutan dari Dr. Afdawaiza yang menjabat sebagai Sekretaris Prodi dan kata pengantar dari Dr. Abdul Mustaqim. Inti yang disampaikan adalah bahwa kuliah umum serta aktivitas akademik diskursif lah yang membawa prodi IAT sejauh ini hingga mendapatkan akreditasi di tingkat ASEAN dan menjadi prodi terbaik di UIN Sunan Kalijaga.

Dalam pemaparannya, Dr. Aksin yang merupakan alumni UIN Sunan Kalijaga membahas tentang akar epistemologis tindak kekerasan oleh beberapa kelompok Islam. Dua sample yang disampaikan adalah kelompok Khawariji-Wahhabi dengan tokohnya Muhammad bin Abdul Wahhab, dan yang disebut oleh Dr. Aksin sebagai Islam Islamisme yang digawangi oleh Abul A’la al-Mawdudi dan Sayyid Qutb.Menurut beliau, yang menjadi biang dari aksi mereka adalah nalar keislaman yang literalis-dualistik terhadap teks-teks keislaman. Dengan nalar ini, mereka sampai pada pandangan tentang kerajaan Tuhan (al-Hakimiyyah al-Ilahiyah) yang harus ditegakkan, salah satu caranya dengan merebut dengan cara apapun kekuasaan dari tangan manusia. Tindakan ini menurut mereka adalah jihadfi sabilillah, atau yang dalam istilah lainnya “aksi membela Allah.” “Aksi serba Tuhan” ini, menurut Dr. Aksin, adalah buah dari nalar teosentris yang bersarang dalam pemikiran para Islam radikal fundamentalis.

Nalar keislaman ini kemudian dikritisi oleh beberapa tokoh, termasuk Muhammad Syahrur, yang oleh Dr. Aksin disebut berada dalam kelompok Islam pluralis. Dalam pandangan kelompok ini agama turun ke dunia bukan untuk Tuhan, namun untuk manusia. Menambahi pandangan para tokoh, Dr. Aksin menekankan bahwa agama memiliki dimensi basyariyah (kemanusiaan) selain juga dimensi ilahiyah (ketuhanan) dalam dirinya. Porsi ayat yang memuat kata berbahasa Arab s-l-m (salima) beserta derivasinya lebih banyak merujuk pada makna kedamaian dan keselamatan, bukannya Islam sebagai sebuah agama.Argumen lain yang Dr. Aksin sampaikan adalah fakta bahwa nabi yang diutus oleh Tuhan adalah min anfusikum, dari golongan manusia. Dengan menggandeng beberapa argumen lain, Dr. Aksin memperkenalkan apa yang ia sebut Islam berparadigma antroposentris, yang menjadikan manusia sebagai fokusnya. Nalar keislaman ini menjadikan kedamaian dan keselamatan manusia sebagai titik pusat dan aturan dasar pandangan keagamaan.

Sebagai pembanding, dhadirkan juga salah seorang alumni Tafsir Hadis (nama lama IAT) yang sedang menjabat sebagai wakil direktur pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Dr. Moh. Nur Ichwan. Menambahi pemaparan Dr. Aksin, Ichwan mengatakan bahwa yang terjadi pada umat Islam saat ini adalah gejala yang bermuara pada seized mentality, mentalitas terkepung. Dengan mentalitas semacam ini yang bisa dilakukan oleh mereka adalah curiga terhadap apapun dan siapapun yang mereka hadapi. Dengan ini, umat Islam menjadi lemah bahkan dari dalam. Kondisi psikologis inilah yang menyebabkan umat Islam mudah terpecah dan diadu domba. Beliau menyebut kasus di Palestina sebagai salah satu bukti konkritnya.

Poin selanjutnya yang beliau sampaikan adalah tingkatan level kekerasan yang sering tidak disadari, yakni kekerasan simbolik dalam level epistemologi. Kekerasan ini bisa dilakukan oleh masing-masing individu dan jika tersistem akan menjadi kekerasan struktural. Yang terakhir memiliki dampak lebih besar dan tingkat kekejaman yang lebih tinggi. Bersamaan dengan itu, beliau menekankan bahwa Islam memiliki etika kekerasan dan teknologinya. Salah satu yang bisa dirujuk adalah deksripsi buku-buku fikih tentang kekerasan yang haq, dibenarkan; di antaranya adalah kekerasan yang digunakan sebagai bentuk hukuman.

Bagaimanapun juga, menurut Dr. Ichwan, paradigma antroposentris ini tetap memiliki keterbatasan, salah satunya jika dihadapkan pada isu environmentalism. Salah satu yang dikritik oleh gerakan yang terakhir ini adalah cara pandang yang menaruh manusia sebagai pusat alam semesta, dan sisanya hanya alat yang bisa dengan bebas digunakan untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia.

Sebagai poin penutup, disampaikan bahwa yang dilakukan oleh Dr. Aksin (juga Dr. Ichwan) adalah meracik ulang nalar pemikiran, atau yang bisa disebut sebagai counter paradigm terhadap nalar-nalar keislaman teosentris yang melahirkan beragam tindak kekerasan atas nama agama yang tidak jarang membahayakan nyawa. Mengutip dhawuh (pendapat) Gus Mus, ditekankan bahwa Islam moderat tidak boleh hanya diam menyaksikan kekerasan terjadi atas nama Tuhan. Agama harus dikembalikan pada fitrahnya, yakni menciptakan subul al-salam (jalan-jalan kedamaian/keselamatan), sambil mawas diri agar tidak sampai berlaku tidak adil hanya karena kebencian sesaat (wa la yajrimannakum syana’an qawm ‘ala an la ta’dilu). Wallahu a’lam. (Muhammad Dhuha Luthfillah)