Dilihat 0 Kali

05_608_WhatsApp Image 2025-11-28 at 03.06.18.jpeg

Kamis, 27 November 2025 15:46:00 WIB

FUPI Gelar Experts Talk, Para Pakar AI bahas Tantangan bagi Otoritas Agama dan Filsafat di hadapan Teknologi

YOGYAKARTA – Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sukses menggelar diskusi yang sangat menarik dan aktual bertajuk “Experts Talk: Peran Agama dan Filsafat di Era Artificial Intelligence (AI)”. Acara yang disiarkan langsung pada Kamis (27/11/2025) di Smart Room FUPI ini menjadi panggung pertemuan penting yang mempertemukan perspektif filsafat, mistisisme, komunikasi digital, dan teknologi akal imitasi (AI).

Diskusi ini menghadirkan dua pembicara kunci (keynote speaker), yaitu Prof. Dr. H. Robby Habiba Abror, M.Hum. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam) dan Prof. Syafa’atun Almirzanah, Ph.D., D.Min. (Alumnus Chicago University, Guru Besar FUPI) dan dua pakar akademisi, Prof. Moch. Fakhruroji (Guru Besar Media baru dan Kajian Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung) dan Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Sc. (Pakar AI, Alumnus Waseda University Jepang, Dosen ITB Bandung). Mereka membahas Akal Imitasi (AI) sebagai fenomena ontologis yang terus menantang sisi-sisi kemanusiaan kita hari ini. AI dibedah dari perspektif agama, filsafat, komunikasi dan Teknik AI.

Prof. Robby Abror: Filsafat sebagai Penjaga Akal Sehat, Nalar Kritis atau Kewarasan

Membuka diskusi, Dekan FUPI UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Robby Habiba Abror, M.Hum. menegaskan bahwa agama dan filsafat sangat penting dan tidak akan mati di era Akal Imitasi (AI) ini meskipun tantangan teknologi semakin besar. Dalam paparannya, Prof. Robby mengingatkan adanya fenomena cognitive offloading di mana manusia saat ini cenderung menyerahkan tugas berpikir kritis dan keputusan moral kepada mesin atau algoritma.

Prof. Robby melihat kecenderungan malas berpikir dan masalah eksistensial seperti kehilangan jati diri dapat terjadi pada siapa pun. Beliau mengingatkan bahwa jika kita terus-menerus melakukan offloading, maka manusia akan kehilangan kedaulatan otak dan tentu saja hilangnya otonomi. Beliau mengatakan bahwa ada dua gelombang kesadaran baru, yang pertama Digital Detox atau detoksifikasi digital, misalnya gerakan mematikan HP atau berkemah Bersama teman-teman tanpa membawa gadget, dan itu ternyata tidak cukup mengatasi cognitive offloading.

Menurutnya, kita butuh gelombang kesadaran kedua, yaitu AI Detachment yaitu sikap kita untuk menjaga jarak dari teknologi gawai, tab, media sosial dan tidak begitu saja menyerahkan proses berpikir atau otonomi kita kepada mesin atau teknologi AI. “Dengan filsafat kita dapat berpikir kritis dan harus menolak menyerahkan otonomi berpikir kita kepada mesin,” papar beliau.

 Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa “AI bisa menjawab apa saja secara logis, rasional dan tekstual (burhani dan bayani), tetapi AI tidak memiliki hati nurani, perasaan dan kemampuan irfani.”

Prof. Syafaatun Almirzanah: Sisi Spiritual yang Tak Tergantikan

Guru Besar Studi Agama-Agama (SAA), Prof. Syafaatun Almirzanah, Ph.D., D.Min. membawa diskusi ke ranah yang lebih dalam yakni spiritualitas. Ia menyoroti berbagai fenomena teknologi dan kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI) yang menampakkan kekhawatiran bahwa AI akan menggantikan peran-peran kemanusiaan yang berbasis empati. Namun, menurutnya, ada satu wilayah yang steril dari jangkauan AI, yaitu rasa atau pengalaman spiritual (religious experience).

Prof. Syafaatun berargumen bahwa dalam tradisi mistisisme dan sufisme, pengetahuan tertinggi dicapai melalui penyucian hati (tazkiyatun nafs), bukan sekadar akumulasi data. “AI bisa menulis puisi tentang Tuhan, tapi ia tidak bisa merindukan Tuhan. Agama harus kembali menekankan aspek esoteris ini agar manusia tidak merasa inferior di hadapan kecerdasan buatan,” tegasnya.

Prof. Dr. Moch. Fakhruroji: Matinya Kepakaran Tradisional

Dari perspektif media baru dan komunikasi, Prof. Dr. Moch. Fakhruroji menyoroti pergeseran fundamental peran Artificial Intelligence (AI) dari sekadar alat menjadi infrastruktur digital yang mendisrupsi keseharian, menandai transisi dari Internet of Things (IoT) menuju Artificial Intelligence of Things (AIoT). Ia menekankan perspektif determinisme teknologi, di mana teknologi kini secara aktif membentuk budaya, identitas individu, hingga struktur kekuasaan dalam masyarakat. Beliau juga memberikan peringatan krusial dengan mengutip Neil Postman mengenai bahaya masyarakat yang mulai “memuja teknologi yang melumpuhkan kapasitas berpikir mereka,” sebuah ironi di tengah data yang menunjukkan bahwa meskipun 54% eksekutif mengakui peningkatan produktivitas berkat AI, terdapat risiko otomatisasi tinggi pada 38% pekerjaan di awal dekade 2030-an.

Lebih lanjut, Fakhruroji membedah bagaimana masyarakat melakukan “domestikasi teknologi”, sebuah proses mengadopsi dan mengintegrasikan teknologi ke dalam rutinitas melalui tahapan apropriasi, objektifikasi, inkorporasi, hingga konversi. Fenomena ini bermuara pada deep mediatization, di mana kehidupan sosial semakin tak terpisahkan dari infrastruktur digital dan basis data yang menopangnya. Dalam ekosistem budaya partisipatoris ini, publik tidak lagi sekadar konsumen pasif, melainkan kontributor collective intelligence, meskipun 88% konsumen kini menuntut transparansi lebih tinggi dari bisnis terkait penggunaan bot bertenaga AI demi menjaga batas etis interaksi manusia-mesin.

 Dr. Ir. Dimitri Mahayana: AI Tidak Memiliki Kesadaran

Perspektif pamungkas datang dari pakar teknologi dan filsafat sains ITB, Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng., Ph.D. Dengan latar belakang teknik yang kuat, Dimitri membongkar mitos bahwa AI akan memiliki kesadaran (consciousness) layaknya manusia. Mengutip teorema ketidaklengkapan Gödel dan pandangan Roger Penrose, Dimitri menjelaskan bahwa komputasi hanyalah manipulasi simbol, bukan pemahaman makna.

“Secanggih apapun Large Language Model (LLM) seperti GPT, mereka hanyalah ‘beo statistik’ yang sangat pintar. Mereka tidak memiliki qualia atau pengalaman subjektif. Ketakutan bahwa AI akan menjadi ‘makhluk’ yang sadar adalah ketakutan yang tidak berdasar secara saintifik, namun bahaya penyalahgunaannya oleh manusia adalah nyata,” jelas Dimitri.

Pakar teknologi dari STEI ITB ini membongkar ilusi kesadaran pada Artificial Intelligence (AI) dengan menegaskan bahwa AI hanyalah fungsi matematika yang memanipulasi data, bukan entitas yang memiliki pikiran, niat, atau perasaan. Dimitri menekankan bahwa fenomena “halusinasi” pada AI adalah konsekuensi natural dari cara kerja algoritma yang bersifat probabilistik, di mana survei menunjukkan 60% pengguna di Indonesia pernah menerima jawaban AI yang sangat meyakinkan namun faktanya salah. Ia memperingatkan bahaya antromorfisme atau kecenderungan manusia menganggap mesin memiliki sifat hidup, padahal sesungguhnya AI hanyalah “patung data” yang bekerja berdasarkan kalkulasi statistik semata tanpa pemahaman makna.

Lebih lanjut, Dimitri menyoroti dampak nyata adopsi AI yang masif namun belum matang, mulai dari munculnya fenomena workslop—limbah konten digital yang terlihat bagus tapi tanpa substansi, hingga ketergantungan kognitif di mana 48% responden kini memilih menggunakan AI daripada berusaha sendiri. Di tengah estimasi ratusan triliun rupiah dana yang mengalir ke luar negeri untuk layanan AI berbayar, ia menyerukan urgensi tata kelola yang ketat, transparansi algoritma, dan audit dataset untuk mencegah “keracunan data” (data poisoning) yang dapat mengacaukan sistem keamanan siber dan integritas informasi secara permanen di masa depan.

Dihadiri oleh ratusan mahasiswa baik secara offline maupun online, acara ini berjalan lancar dan sukses serta menjawab banyak pertanyaan tentang Artificial Intelligence / Akal Imitasi (AI). Seminar nasional dalam bentuk Experts Talk ini akan ditingkatkan lagi pada tahun berikutnya. Kegiatan ini dapat disaksikan kembali melalui link youtube berikut ini, https://www.youtube.com/live/9AuUztvNRH0?si=RWNf5bN82QBxOs9m. (Munawar Ahmad)

berita Terbaru