YOGYAKARTA – Untuk menjawab kekhawatiran global mengenai dominasi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang semakin menggerus kemampuan kognitif manusia, Masjid Kampus (Maskam) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Kajian Kamis Sore yang mengangkat tema krusial: “Peran Agama dan Filsafat Islam di Era AI.” Kajian Kamis Sore adalah program rutin Masjid Kampus UGM yang menghadirkan tokoh-tokoh intelektual untuk mendiskusikan isu-isu kontemporer dalam perspektif Islam, sains, dan kebudayaan, terbuka untuk civitas akademika dan masyarakat umum.
Acara yang berlangsung pada Kamis
sore (20/11/2025) tersebut menghadirkan Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. H. Robby Habiba Abror, M.Hum.
Dalam paparannya, Prof. Robby menawarkan perspektif segar: menggabungkan
khazanah filsafat Islam klasik dengan konsep modern AI Detachment.
Dalam konsep yang ditawarkannya
tersebut, Prof. Robby menyoroti fenomena Cognitive Offloading, yakni
kecenderungan manusia untuk menyerahkan tugas berpikir kritis dan keputusan
moral kepada mesin atau algoritma. Ia memperingatkan bahwa sekadar melakukan Digital
Detox atau mematikan layar, tidak lagi cukup. “Kita perlu melangkah ke
gelombang kesadaran kedua, yaitu AI Detachment. Ini bukan
anti-teknologi, melainkan menjaga jarak kedaulatan otak. Kita harus menolak
menyerahkan otonomi berpikir kita kepada mesin,” tegas Prof. Robby di hadapan
ratusan jamaah mahasiswa dan umum.
Prof. Robby juga mengajak audiens
menyelami kembali pemikiran para filsuf Muslim legendaris seperti Al-Jurjani,
Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd sebagai landasan etis menghadapi teknologi. Mengutip
Kitab at-Ta’rifat karya Al-Jurjani, beliau menjelaskan bahwa agama adalah
institusi Ilahi yang membimbing orang berakal sehat menuju kebaikan esensial.
“Definisi ini menegaskan bahwa agama (syariat) dan akal (filsafat/sains) adalah
dua hal yang tidak bisa dipisahkan, bahkan di era digital,” ujarnya.
Lebih jauh, beliau membedah
harmoni akal dan wahyu menurut Ibnu Rusyd, yang menyebut filsafat (Hikmah) dan
Agama (Syariat) sebagai “saudara sepersusuan” (al-ukht al-radi’ah).
Keduanya bersahabat secara alami dan mencintai secara esensi, sehingga kemajuan
teknologi sebagai produk akal seharusnya tidak membenturkan manusia dengan
nilai agamanya.
Sebagai puncak dari pembahasan, Prof.
Robby merujuk tiga metode berpikir dalam epistemologi Islam: Burhani
(demonstrasi rasional), Bayani (teks wahyu), dan Irfani (intuisi/spiritual). Menurut
Prof. Robby, AI mungkin sangat canggih dalam aspek Burhani (logika data), namun
ia tidak memiliki aspek Irfani (rasa spiritual dan intuisi hati). “Inilah yang
membedakan manusia dengan mesin. Kedaulatan manusia ada pada kemampuan
menyeimbangkan rasionalitas dengan hati nurani yang tidak dimiliki algoritma,”
pungkasnya.
Kajian ini ditutup dengan
kesimpulan bahwa mempelajari filsafat Islam bukan berarti mundur ke masa lalu,
melainkan mengambil bekal atau senjata intelektual untuk tetap menjadi manusia
yang utuh dan bahagia di tengah gempuran otomatisasi. (Jahfal/Fairuz)