Ambon – Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam (AFI) Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUD) IAIN Ambon sukses
menyelenggarakan Seminar Nasional dalam format Webinar Filsafat pada Senin, 10
November 2025. Mengusung tema “Manusia di Tengah Disrupsi Teknologi: Refleksi
Filsafat tentang Makna dan Kemanusiaan di Era Digital”, seminar ini
menghadirkan jajaran pakar terkemuka di bidang filsafat, agama dan budaya.
Para narasumber tersebut adalah
Prof. Dr. H. Robby Habiba Abror, M.Hum. (Guru Besar Ilmu Religi dan Budaya dan
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta), Prof. Mukhtasyar Syamsuddin, Ph.D. of Arts (Guru Besar Filsafat
UGM), dan Dr. Saidin Ernas, M.Si. (Wakil Rektor 2 IAIN Ambon).
Dukungan penuh datang dari Dekan
FUD IAIN Ambon, Dr. Ismail Tuanany. Beliau mengungkapkan kebahagiaannya atas
kehadiran para cendekiawan tersebut. “Kami sangat mendukung acara ini. Kami
berharap seminar ini dapat memberikan pencerahan dan pandangan yang cerdas atas
problem kemanusiaan yang kita hadapi hari ini,” tutur Dr. Ismail.
Ketua Prodi AFI FUD IAIN Ambon,
Nurfajriyani, M.Hum., menyatakan bahwa webinar ini diadakan untuk menghadirkan
pemikiran solutif. “Kami berupaya menghadirkan pandangan dari para pakar
filsafat, agama, dan budaya untuk menjawab berbagai tantangan kehidupan di era
Kecerdasan Buatan (AI) yang semakin masif ini,” ujarnya.
Dalam paparannya, Prof. Robby
menyampaikan beberapa refleksi filosofis yang tajam mengenai hubungan manusia
dan Akal Imitasi (AI). Menurutnya, pemahaman masyarakat tentang risiko AI
seringkali keliru. Dekan FUPI UIN Sunan Kalijaga tersebut menegaskan bahwa AI
memecahkan masalah dengan cara yang “asing” bagi manusia. “Ini bukan kecerdasan
manusia. AI ibarat alien, ia asing tidak kita kenal tiba-tiba saja masuk dalam
kehidupan kita dan kita begitu dekat dan akrab dengannya” katanya. Ia mencontohkan
kemenangan AlphaGo atas juara dunia Go dengan strategi yang tidak
pernah terpikirkan oleh manusia. “Kita menciptakan sesuatu yang tidak
sepenuhnya kita pahami, tidak dapat dikontrol dan suatu ketika tidak dapat kita
kendalikan,” tambahnya.
Dekan FUPI UIN Sunan Kalijaga ini
menyoroti bahwa risiko terbesar bukanlah pemberontakan AI seperti dalam fiksi
ilmiah, melainkan kepatuhan manusia yang berlebihan terhadapnya. Sehingga kita
akanmenjadi sangat tergantung terhadapnya.
“Risiko terbesar yang perlu
dicermati sejak dini adalah bahwa di satu sisi AI dapat memberontak kepada
penciptanya (manusia), karena akan menjadi lebih canggih dalam bentuk super
intelligence AI dan berjalan sendiri untuk membaca dan mengambil keputusan, dan
di sisi lain kita sebagai manusia terlalu patuh kepadanya, bahkan sangat
bergantung. Kita berisiko menyerahkan kapasitas esensial kita membereskan
desain masa depan, karir dan persoalan agama kepada AI demi kenyamanan dan
solusi yang cepat.” Pergeseran ini, lanjutnya, mengubah posisi manusia dari
agen atau subjek menjadi objek yang dikelola oleh algoritma. Manusia mulai
berpikir dan bertindak seperti mesin, tiba-tiba kehilangan empati dan ingin
cepat menyelesaikan sesuatu tanpa menghadirkan rasa dan kedalaman makna.
Prof. Robby mengingatkan bahwa
“Akal Imitasi (AI) seharusnya yang melayani manusia, bukan sebaliknya. Otonomi
manusia dan akal budi (reason) harus menjadi pemimpin. AI harus meningkatkan,
bukan menggantikan, kemampuan kita mengambil keputusan dan berpikir kritis,”
pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Rektor 2
IAIN Ambon, Dr. Saidin Ernas, M.Si., yang tampil sebagai narasumber kedua,
menyoroti paradoks sosial yang muncul akibat disrupsi teknologi.
Beliau memaparkan bahwa teknologi
telah menciptakan ironi dalam interaksi manusia. “Manusia bisa berinteraksi
lintas batas dan benua dalam detik yang sama, tapi semakin kehilangan kemampuan
bertegur sapa di ruang nyata,” paparnya.
Dr. Saidin juga menyoroti krisis
identitas yang dihadapi generasi muda. “Anak muda membentuk identitas diri dari
algoritma media sosial, dari filter wajah hingga like dan followers,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mempertanyakan
pergeseran makna eksistensial manusia ketika AI mulai mengambil alih
peran-peran kreatif dan emosional. "AI menulis puisi, melukis, bahkan
memprediksi emosi manusia; sementara manusia sendiri kehilangan kedalaman makna
eksistensialnya," pungkas Dr. Saidin.
Narasumber utama lainnya, Guru
Besar Filsafat UGM, Prof. Dr. Mukhtasyar Syamsuddin, Ph.D of Arts, menawarkan
pendekatan filosofis untuk membedah problem kemanusiaan di era digital. Beliau
memaparkan "Fenomenologi sebagai Metode" untuk memahami bagaimana
manusia mengalami dunianya.
Prof. Mukhtasyar menjelaskan
bahwa fenomenologi penting untuk mengembalikan fokus pada pengalaman manusia
yang otentik, yang berbeda secara fundamental dari cara kerja AI. Mengutip
Edmund Husserl, ia menekankan bahwa kesadaran manusia selalu bersifat intensional,
yakni selalu ”tentang sesuatu". Ini berbeda dengan AI yang mengolah data
tanpa memiliki kesadaran atau intensionalitas. Merujuk pada Martin Heidegger,
ia menyebut bahwa pengalaman religius adalah bentuk otentik manusia '”being-in-the-world”
(berada-di-dalam-dunia). Ia juga menyoroti pandangan Maurice Merleau-Ponty
bahwa "tubuh sebagai pusat pengalaman spiritual".
“Pendekatan fenomenologi ini menegaskan bahwa aspek-aspek esensial kemanusiaan—seperti kesadaran, pengalaman religius, dan keterikatan pada tubuh—adalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh AI dan tidak dapat direplikasi oleh algoritma,” simpul Prof. Mukhtasyar. (Munawar Ahmad)