Dilihat 0 Kali

05_416_WhatsApp Image 2025-12-02 at 01.04.42.jpeg

Sabtu, 29 November 2025 16:46:00 WIB

Di Forum Indonesia-Uni Eropa, Dekan FUPI UIN Sunan Kalijaga Ingatkan Bahaya Narcissus Digital bagi Masa Depan Iman dan Kemanusiaan

YOGYAKARTA – Forum strategis EU–Indonesia Interfaith and Intercultural Dialogue 2025 yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri RI, Uni Eropa, dan UIN Sunan Kalijaga menjadi panggung refleksi kritis tentang tantangan iman di era modern (29/11/2025). Forum yang dihadiri oleh para dosen serta mahasiswa sarjana, magister dan doktoral FUPI ini menyajikan tiga sesi presentasi internasional.

Dalam sesi ketiga bertajuk “Religion as a Vector of Gender Equality”, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Robby Habiba Abror, M.Hum., menyampaikan orasi ilmiah yang menyoroti ancaman egoisme digital melalui tajuk “The Death of Narcissus and the Future of Faith”.

Sebelum membedah tantangan filosofis dan teologis tersebut, Prof. Robby mengawali sesinya dengan mengajak seluruh hadirin, termasuk Wakil Duta Besar Uni Eropa dan para diplomat, untuk menundukkan kepala sejenak. Doa solidaritas dipanjatkan bagi para korban bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Dalam paparan utamanya, Prof. Robby memperingatkan bahwa Sindrom Narcissus, merujuk pada mitologi Yunani kuno tentang sosok yang mati karena mencintai bayangannya sendiri—kini telah bermetamorfosis menjadi ancaman eksistensial. Mengutip pemikiran Jean Baudrillard dan Marshall McLuhan, ia menyebut layar gawai (screen) sebagai kolam pantulan baru bagi manusia modern.

Masyarakat kini dinilai terhipnotis memoles Avatar di media sosial demi memburu validasi, jatuh cinta pada citra diri buatan, baik sebagai sosok saleh, intelektual, maupun aktivis di dunia maya.

“Obsesi pada refleksi digital ini membuat kita mengabaikan Echo dalam kehidupan nyata, seperti pasangan, anak, dan tetangga yang menjerit membutuhkan perhatian tepat di samping kita,” tegas Prof. Robby.

Prof. Robby berargumen bahwa Indonesia, sebuah bentangan geografis yang setara dengan delapan negara Eropa dari London di UK hingga Tashkent di Uzbekistan dan menaungi 1.340 suku bangsa, mampu bertahan sebagai laboratorium pluralisme global justru karena bangsa ini berhasil membunuh narsisme kolektif. Indonesia bertahan karena berani berhenti mencari pantulan Narcissus diri sendiri dan mulai merangkul “Liyan” (The Other).

Lebih jauh, ia menarik benang merah filosofi ini ke isu kesetaraan gender dengan menantang audiens untuk meruntuhkan Narcissus Patriarki, sebuah sistem di mana laki-laki hanya melihat dunia melalui cermin dominasinya sendiri. Baginya, agama bukanlah musuh kesetaraan, melainkan vektor potensial untuk menegakkan keadilan gender.

Narasi tersebut diperkaya oleh perspektif internasional dari dua narasumber lain. Dunya Elemenler, seorang Muslimah Ketua Perhimpunan Islam-Kristen di Jerman, membedah krisis kepercayaan (trust issues) yang melanda Eropa. Kendati Jerman memiliki demografi majemuk, tantangan diskriminasi dan isu pengungsi masih membayangi. Dunya menekankan bahwa dialog lintas iman adalah jalan utama untuk merajut kembali kepercayaan sosial yang terkoyak.

Sementara itu, Dr. Alice Schumann dari pemeluk Hindu Jerman yang aktif di Masyarakat Perhimpunan Jerman-India, menyoroti posisi perempuan yang berada di persimpangan tradisi dan modernitas. Ia memaparkan transformasi peran perempuan Hindu yang kini bergerak dari ranah domestik menjadi kekuatan strategis dalam isu lingkungan dan pengentasan kemiskinan, terinspirasi oleh figur teologis dewi-dewi dalam tradisi Hindu.

Setelah kegiatan seminar internasional yang dikemas dalam bingkai Dialog Antariman dan Antarbudaya ini usai, dilanjutkan dengan diskusi lebih mendalam dan terfokus di Ruang Dekan FUPI UIN Sunan Kalijaga Bersama Wakil Dubes Uni Eropa, ikut serta para delegasi dari Jerman, Belgia, Italia dan Perancis serta rombongan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI tentang upaya peningkatan kolaborasi dan penguatan kerjasama antara Indonesia dan Uni Eropa dalam bidang keagamaan dan kemanusiaan.

Komitmen Diplomatik Jakarta-Brussels

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Noorhaidi Hasan, menegaskan posisi universitasnya sebagai tuan rumah yang berakar pada tradisi moderasi. “Dialog ini mencerminkan komitmen kami dalam memajukan kajian interdisipliner dan memberdayakan masyarakat menghadapi tantangan global,” ujarnya.

Senada dengan itu, Stephane Mechati, Wakil Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, menyebut praktik harmonisasi di Indonesia sebagai pelajaran berharga bagi dunia. “Di saat dunia menghadapi ketidakstabilan geopolitik, memupuk dialog antar komunitas agama bukan hanya penting, tetapi mendesak,” tegas Mechati.

Dari sisi pemerintah, Ghofar Ismail dari Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI, menyambut aktivasi dialog ini sebagai cerminan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Forum ini diharapkan menghasilkan rekomendasi konkret yang melampaui hubungan antar-pemerintah (G-to-G), menyentuh akar rumput melalui keterlibatan cendekiawan dan masyarakat sipil. (Munawar Ahmad)