YOGYAKARTA –
Forum strategis EU–Indonesia Interfaith and Intercultural Dialogue 2025
yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri RI, Uni Eropa, dan UIN Sunan
Kalijaga menjadi panggung refleksi kritis tentang tantangan iman di era modern
(29/11/2025). Forum yang dihadiri oleh para dosen serta mahasiswa sarjana,
magister dan doktoral FUPI ini menyajikan tiga sesi presentasi internasional.
Dalam sesi
ketiga bertajuk “Religion as a Vector of Gender Equality”, Dekan
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H.
Robby Habiba Abror, M.Hum., menyampaikan orasi ilmiah yang menyoroti ancaman
egoisme digital melalui tajuk “The Death of Narcissus and the Future of
Faith”.
Sebelum membedah
tantangan filosofis dan teologis tersebut, Prof. Robby mengawali sesinya dengan
mengajak seluruh hadirin, termasuk Wakil Duta Besar Uni Eropa dan para
diplomat, untuk menundukkan kepala sejenak. Doa solidaritas dipanjatkan bagi
para korban bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Barat,
dan Sumatera Utara.
Dalam paparan
utamanya, Prof. Robby memperingatkan bahwa Sindrom Narcissus, merujuk pada
mitologi Yunani kuno tentang sosok yang mati karena mencintai bayangannya
sendiri—kini telah bermetamorfosis menjadi ancaman eksistensial. Mengutip
pemikiran Jean Baudrillard dan Marshall McLuhan, ia menyebut layar gawai (screen)
sebagai kolam pantulan baru bagi manusia modern.
Masyarakat kini
dinilai terhipnotis memoles Avatar di media sosial demi memburu validasi, jatuh
cinta pada citra diri buatan, baik sebagai sosok saleh, intelektual, maupun
aktivis di dunia maya.
“Obsesi pada
refleksi digital ini membuat kita mengabaikan Echo dalam kehidupan nyata,
seperti pasangan, anak, dan tetangga yang menjerit membutuhkan perhatian tepat
di samping kita,” tegas Prof. Robby.
Prof. Robby
berargumen bahwa Indonesia, sebuah bentangan geografis yang setara dengan
delapan negara Eropa dari London di UK hingga Tashkent di Uzbekistan dan
menaungi 1.340 suku bangsa, mampu bertahan sebagai laboratorium pluralisme
global justru karena bangsa ini berhasil membunuh narsisme kolektif. Indonesia
bertahan karena berani berhenti mencari pantulan Narcissus diri sendiri dan
mulai merangkul “Liyan” (The Other).
Lebih jauh, ia
menarik benang merah filosofi ini ke isu kesetaraan gender dengan menantang
audiens untuk meruntuhkan Narcissus Patriarki, sebuah sistem di mana laki-laki
hanya melihat dunia melalui cermin dominasinya sendiri. Baginya, agama bukanlah
musuh kesetaraan, melainkan vektor potensial untuk menegakkan keadilan gender.
Narasi tersebut
diperkaya oleh perspektif internasional dari dua narasumber lain. Dunya
Elemenler, seorang Muslimah Ketua Perhimpunan Islam-Kristen di Jerman, membedah
krisis kepercayaan (trust issues) yang melanda Eropa. Kendati Jerman
memiliki demografi majemuk, tantangan diskriminasi dan isu pengungsi masih
membayangi. Dunya menekankan bahwa dialog lintas iman adalah jalan utama untuk
merajut kembali kepercayaan sosial yang terkoyak.
Sementara itu,
Dr. Alice Schumann dari pemeluk Hindu Jerman yang aktif di Masyarakat
Perhimpunan Jerman-India, menyoroti posisi perempuan yang berada di
persimpangan tradisi dan modernitas. Ia memaparkan transformasi peran perempuan
Hindu yang kini bergerak dari ranah domestik menjadi kekuatan strategis dalam
isu lingkungan dan pengentasan kemiskinan, terinspirasi oleh figur teologis
dewi-dewi dalam tradisi Hindu.
Setelah kegiatan
seminar internasional yang dikemas dalam bingkai Dialog Antariman dan Antarbudaya
ini usai, dilanjutkan dengan diskusi lebih mendalam dan terfokus di Ruang Dekan
FUPI UIN Sunan Kalijaga Bersama Wakil Dubes Uni Eropa, ikut serta para delegasi
dari Jerman, Belgia, Italia dan Perancis serta rombongan Kementerian Luar
Negeri (Kemenlu) RI tentang upaya peningkatan kolaborasi dan penguatan
kerjasama antara Indonesia dan Uni Eropa dalam bidang keagamaan dan
kemanusiaan.
Komitmen
Diplomatik Jakarta-Brussels
Rektor UIN Sunan
Kalijaga, Prof. Dr. Noorhaidi Hasan, menegaskan posisi universitasnya sebagai
tuan rumah yang berakar pada tradisi moderasi. “Dialog ini mencerminkan
komitmen kami dalam memajukan kajian interdisipliner dan memberdayakan
masyarakat menghadapi tantangan global,” ujarnya.
Senada dengan
itu, Stephane Mechati, Wakil Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, menyebut
praktik harmonisasi di Indonesia sebagai pelajaran berharga bagi dunia. “Di
saat dunia menghadapi ketidakstabilan geopolitik, memupuk dialog antar
komunitas agama bukan hanya penting, tetapi mendesak,” tegas Mechati.
Dari sisi
pemerintah, Ghofar Ismail dari Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar
Negeri RI, menyambut aktivasi dialog ini sebagai cerminan semangat Bhinneka
Tunggal Ika. Forum ini diharapkan menghasilkan rekomendasi konkret yang
melampaui hubungan antar-pemerintah (G-to-G), menyentuh akar rumput
melalui keterlibatan cendekiawan dan masyarakat sipil. (Munawar Ahmad)