Kunjungan mahasiswa Studi Agama-Agama di Klenteng Poncowinatan, Yogyakarta
Oleh: Annisa Rahmalia dan Syifa Salsabila (Mahasiswa SAA’19)
Studi Agama-Agama merupakan salah satu jurusan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengkaji mengenai berbagai agama dan keyakinan di Indonesia. salah satu dari agama yang menjadi mata kuliah wajib mahasiswa adalah agama Konghucu, yakni salah satu agama yang telah diresmikan di Indonesia. Untuk mendalami pengetahuan mengenai agama Konghucu lebih dalam, mahasiswa studi agama-agama angkatan 2019 melakukan kegiatan kunjungan di salah satu klenteng di Yogyakarta, Klenteng Tjen Ling Kiong yang lebih familiar dikenal sebagai Klenteng Poncowinatan. Kegiatan ini dipandu oleh dosen pengampu mata kuliah Konghucu, ibu Hasna Safarina Rasyidah berlangsung pada hari senin, 30 Mei 2022 pukul 09.30 WIB diikuti lebih dari 30 mahasiswa.
Selama kegiatan kunjungan berlangsung, mahasiswa mendapatkan banyak penjelasan mengenai Konghucu dari bapak Cucuk Rohyana, yang telah 15 tahun menjabat sebagai ketua MATAKIN Yogyakarta. beliau lahir di Jawa Barat sebagai keturunan Tionghoa yang campuran. Orangtuanya merupakan keturunan Sunda dan Tionghoa, sedangkan dari pihak nenek merupakan seorang muslim. Dikarenakan memiliki latar belakang yang cenderung mengarah ke agama Islam, bapak Cucuk Rohyana pun dapat sedikit banyak memahami agama Islam. meski begitu, neneknya berpesan bahwa agama merupakan kebebasan setiap orang, dan setiap orang bebas untuk menentukan agamanya. Hingga kini, beliau menjadi ketua MATAKIN Yogyakarta dikarenakan telah mempelajari agama Konghucu juga sejak kecil meski tidak melalui pendidikan formal, melainkan melalui sekolah minggu.
Perjalanan Panjang Menuju Pengakuan
Sebagai salah satu agama yang relatif minim penganut, bukan menjadi hal yang asing jika Konghucu melalui banyak lika-liku yang panjang hingga akhirnya dapat diakui sebagai agama yang resmi menurut negara. Menurut bapak Cucuk, umat Konghucu memiliki sedikit rasa traumatis jika melihat masyarakat Muslim dan kalangan militer. Pasalnya, pada masa Orde Baru, pemimpin agama mereka pernah ditangkap dan ditahan di penjara selama 24 jam saat umat Konghucu hendak merayakan Imlek dengan melakukan arak-arak mengelilingi wilayah sekitar kelenteng. Tak hanya itu, pak Cucuk mengatakan kelenteng juga pernah dibakar oleh kalangan Islam radikal.
Meskipun bukan kelenteng Poncowinatan yang terbakar, tetapi hal-hal inilah yang kiranya meninggalkan sisa rasa takut pada umat Konghucu. setelah kejadian itu, umat Konghucu menutup status mereka rapat-rapat dari masyarakat luas. Mereka akan menolak jika terdapat pihak yang menanyakan perihal Konghucu, seperti, “Apakah terdapat penganut Konghucu disini?” dan apapun yang berkaitan dengan agama Konghucu. mereka akan dengan tegas mengatakan bahwa mereka penganut Buddha, bukan Konghucu. Namun, pada akhirnya agama Konghucu dapat memperoleh hak atas keyakinannya kembali pada saat Gus Dur, presiden Indonesia ke-4 saat itu mengesahkan agama Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia. Meskipun sudah mendapatkan pengakuan negara, kekhawatiran akan orang lain masih ada tetapi sudah mulai berkurang seiring zaman. Hal ini dialami oleh umat beragama Konghucu di Kelenteng Poncowinatan ini.
Untuk menjadi pemeluk agama Konghucu, seperti pada agama-agama pada umumnya, tidak ada persyaratan khusus selain tekad dan niat yang tulus untuk memeluk agama tersebut. Hal ini pun juga diterapkan dalam agama Konghucu. seseorang yang hendak memeluk agama ini, akan ditanya mengenai seberapa kuat niat dan kemantapan hatinya untuk memeluk agama Konghucu. setelah merasa yakin dengan agama Konghucu, seseorang akan dibacakan suatu janji, dan secara resmi ia sudah dapat dikatakan sebagai penganut agama Kong hu Chu yang sah. Tak hanya dalam proses memeluk agama Konghucu, sebelum seseorang melakukan pernikahan pun, dalam agama Konghucu juga melakukan Li Yeng, yakni seseorang akan ditanya mengenai seberapa yakin dirinya untuk melaksanakan pernikahan.
Mengenai peribadatan, umat Konghucu menggunakan dupa yang memiliki batang berwarna merah sebagai simbol yang ditujukan untuk Tuhan. tidak ada ketentuan khusus untuk warna dupa bagian ujung nya, hanya saja bagian batang dari dupa diharuskan berwarna merah untuk proses pelaksanaan ibadah. Umat Konghucu akan membawa dupa yang berjumlah 1, 3, atau 9 buah untuk beribadah. memegang dupa diawali dengan kanan yang dikepalkan dengan ujung ibu jari menjulur ke atas, kemudian disusul dengan tangan kiri yang berada di atas tangan kanan dengan posisi yang sama. setelah mengepalkan kedua tangan dengan posisi tersebut, kedua ibu jari pun membentuk silang dan proses ibadah dilakukan dengan meletakkan kedua tangan yang membawa dupa ke arah jidat selama 3 kali sebagai simbol mengarah kepada Tuhan, dan kemudian mengarahkannya ke arah ulu hati sebagai simbol kepada manusia itu sendiri. setelah itu, dupa ditancapkan menggunakan tangan kiri sebagai simbol dari kesucian. hal ini dikarenakan umat Konghucu memiliki keyakinan bahwa tangan kanan merupakan lambang dari keserakahan dan seorang istri yang harus dirangkul dengan baik, seperti tangan kanan yang dikepal oleh tangan kiri dalam peribadatan,
Dalam pelaksanaan ibadah ini selain menggunakan dupa, juga menggunakan buah yang hanya digunakan sebagai simbol. Menyiapkan buah pada prosesi ibadah ini tidak menjadi suatu kewajiban, sebab hakikatnya ibadah dalam Konghucu adalah seikhlasnya, tidak perlu memaksakan kehendak. Pelaksanaan ibadah ini dilakukan setiap tanggal 1 dan 15 menurut kalender Cina. Maka, umat Konghucu melakukan ibadah 2 kali dalam 1 bulan jika dihitung menggunakan sistem penanggalan nasional. Meski agama ini bukan berasal dari Indonesia, ketika agama ini masuk di Indonesia terdapat beberapa akulturasi yang diadopsi dan dijadikan ornamen dalam kegiatan peribadatan. tak jarang tumpeng, yang identik dengan tradisi Jawa, dipakai dalam upacara hari besar sebagai bentuk kearifan lokal yang dilestarikan dan diterapkan pada masyarakat.
Konghucu di Cina dan Indonesia
Agama Konghucu di Indonesia memiliki suatu keunikan, dimana terlihat agama ini memiliki perbedaan dengan Konghucu di Cina maupun di negara lain. Dalam hal keyakinan akan Tuhan ini berbeda, dikarenakan adanya keharusan mengimani Tuhan di Indonesia yang akhirnya menjadikan agama Konghucu di Indonesia ini memiliki Tuhan yang mereka sebut Dewa. Meski terdapat perbedaan dalam hal teologi, fungsi kelenteng hampir di berbagai negara memiliki kesamaan, yakni sebagai tempat yang yakni beribadah kepada dewa yang disembah. Apabila di kelenteng di berbagai negara diperbolehkan beribadah untuk agama lain, di Indonesia diutamakan untuk orang yang beragama Konghucu daripada yang beragama lain. Selain itu mengenai ajaran Konghucu di Indonesia lebih lengkap, sebab apabila kita melihat di Cina lebih meyakini ajaran akan patuh kepada pemerintahan, oleh sebab itu masyarakat di Cina sudah banyak yang tidak beragama.
Pada sejarahnya kelenteng yang digunakan untuk beribadah umat Konghucu di Indonesia lebih dikenal sebagai litang, sebab kelenteng lebih digunakan untuk agama TRIDHARMA (Buddha, Taoisme, dan Konghucu). Secara arsitektur pada litang ini mengikuti kepercayaan ajaran Cina, seperti masih menggunakan feng shui, ornamen-ornamen yang diyakini memberikan suatu positive vibes dalam lintang dengan warna merah yang mendatangkan kebahagiaan, berkat, kejayaan serta kehidupan yang sukses.*AR/SS