Dilihat 0 Kali

UIN SUKA

Sabtu, 01 Mei 2021 10:38:08 WIB

Kepemimpinan Wanita: Dalil, Realitas dan Tantangan

Jum’at lalu, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga diundang untuk berbicara dalam satu kajian online. Kajian ini merupakan program kerja dari Divisi Kemuslimahan Keluarga Muslim Filsafat UGM 2021 yang mengusung tema "Kepemimpinan Wanita: Dalil, Realitas dan Tantangan", tema yang sangat tepat jika diserahkan kepada Ibu Dr. Inayah Rohmaniyah, S.A. M.Hum, M.A sebagai pengulasnya, mengingat beliau telah dikenal sebagai aktivis gender jauh sebelum menjabat sebagai dekan dari Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Acara ini diselenggarakan melalui platfrom Google meet, tepatnya pada Jumat 30 April 2021 dari pukul 15.30 hingga 17.00 WIB.

Diskusi ini dimulai oleh Dr. Inayah dengan menjawab pertanyaan berikut:

Apa iya ada dalil dalam Alquran yang secara eksplisit melarang kepemimpinan perempuan?

Dr. Inayah menyampaikan bahwa tidak ada dalil secara tekstual yang melarang perempuan sebagai pemimpin. Alquran surat An-Naml: 23 menggambarkan Ratu Saba’ sebagai sosok perempuan hebat dan memiliki kemampuan diplomasi yang baik. Ia memiliki kekuasaan Yaman sangat luas dan sangat dihormati oleh kaumnya. Alquran menggambarkan sosok ini sebagai seorang yang bijak, bahkan karena jasa Ratu Saba’ lah negeri yang dipimpinnya menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.

Wacana yang dilanggengkan dalam tafsir yang mainstream tentang pemimpin adalah arrijaalu qawwamuuna alan nisaa’. Pemahaman qawwam ini sangat beragam, namun yang dihighlight laki-laki adalah pemimpin, padahal tafsir sendiri sangat banyak nan beragam dan harus dibaca secara kritis agar kita tidak terjebak dalam satu pemaknaan saja. Begitu pula narasi hadist yang sangat populer, “Tidak akan beruntung satu bangsa yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada perempuan.” Beliau menegaskan berkali-kali agar kita sebagai akademisi harus memiliki pemikiran terbuka dan jangan sampai kehilangan critical thinking.

Menyoal ayat Alquran di atas, sebenarnya banyak mufassir kontemporer yang menginterpretasikan kata qawwam bukan sebagai pemimpin. Engineer misalnya, mengartikan kata tersebut sebagai ‘pendukung’. Statemen tersebut tidak lantas menegaskan superioritas laki-laki. Mufassir yang lain, Nazaruddin Umar, menjelaskan ar rijal sebagai maskulinitas (bukan laki-laki) alias sifat-sifat yang jantan, bukan feminitas alias sifat keperempuanan, hal ini untuk membedakan antara adz-dzakar dan ar-rijal. Jelas di sini, bahwa siapa pun yang memberi nafkah ya dia yang qawwam.

“Mana yang paling benar? Wallahu a’lam, karena tafsir adalah produk ulama. Ada tafsir tekstualis, rasionalis, intuitif yang harus terus dibaca secara kritis.”, tegasnya.

Selanjutnya membaca Hadis populer tentang kepemimpinan tersebut, Dr. Inayah melihatnya sebagai hadis ahad yang hanya ditransmisikan oleh segelintir sahabat, yang artinya sanadnya lemah. Hadis ini juga diduga dimunculkan oleh lawan politik Aisya sebagai pemimpin pasukan di mana hadis ini dikemukakan pada saat konflik antara partai Aisya dan partai Ali.

Hadis selalu dilihat sebagai self evident dan diterima begitu saja sebagai kebenaran teologis, padahal mestinya tidak begitu. Engineer menyatakan bahwa hadis harus selalu dilihat apakah seiya dengan spirit Alquran, karena nyatanya banyak hadis yang bertentangan dengan spirit Alquran.

Kajian berlangsung sangat menarik karena sosok Dr. Inayah terlihat menguasai materi. Beliau memperlihatkan banyak fakta dalam sejarah bahwa dunia Islam memiliki banyak sosok perempuan hebat. Sebut saja istri Nabi, Khadijah, yang digambarkan sebagai perempuan yang mandiri, dan cerdas. Lalu ada Nusaybah Binti Kaab yang terkenal di medan perang karena keberaniannya. Namanya dihubungkan dengan banyak pertempuran, bahkan dalam perang Uhud, dia terkenal sebagai pengawal dan pelindung Nabi. Selanjutnya tentu Aisyah yang dikenal sebagai sumber ilmu yang meriwayatkan 2210 hadis. Istri Nabi ini sangat kuat mengcounter budaya patriarki, seperti hadis-hadis yang banyak diriwayatkan oleh Abu Huraira.

Ketika berbicara tafsir, mau tidak mau kita berbicara epistemologi: siapa yang menafsirkan, bagaimana ia memahami teks. Dr. Inayah membandingkan tafsir patriarki dan tafsir inklusif gender, keduanya karena memiliki dasar epistem yang berbeda akhirnya menghasilkan implikasi yang berbeda pula.

Prinsip untuk menafsirkan ayat Alquran, pertama, pemahaman dan penafsiran sangat ditentukan oleh siapa yang membaca, dalam konteks apa, kapan, dan seterusnya. Kedua, pemahaman terhadap sumber-sumber Islam tidak pernah tunggal meskipun sumbernya sama. Ketiga, semua pemahaman valid dalam tradisi Islam, dan terakhir, pemahaman agama tidak sekedar persoalan salah dan benar, tapi juga persoalan relevansi dan kontekstualitas.

Moderator acara, Agnes Vika, menyimpulkan pemaparan Dr. Inayah dengan sangat baik, bahwa success story kejayaan masa awal Islam tidak terlepas dari sinergi yang baik antara laki-laki dan perempuan. *HSR