Dilihat 0 Kali

UIN SUKA

Rabu, 05 Juli 2023 08:14:34 WIB

Mendorong Pentingnya Perjumpaan, Komunikasi, dan Kolaborasi Lintas Agama dan Budaya, Prof. Inayah Berbicara dalam Forum Simposium Internasional

 

Kuala Lumpur 5 Juli 2023. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof.  Inayah rohmaniyah, M.Hum, MA berbicara dalam forum The International Symposium on “Upholding Human Dignity for Peaceful Coexistence” yang dilaksanakan pada tanggal 5-7 July 2023 diKuala Lumpur. Kegiatan tersebut diselenggakan oleh empat Lembaga di Malaysia yaitu Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), Internasional Center For Law And Religion Studies (ICLRS), Brigham Young University (BYU), UID Sejahtera Malaysia, dan Sekolah Teoloji Malaysia. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberikan kesempatan pada akademisi atau organisasi yang berbasis agama untuk menggali Pemahaman tentang martabat manusia atau human Dignity dari perspektif Islam (Insider) dan terutama perspektif Asia. Menghadirkan para Narasumber dari berbagai negara dan berbagai latar belakang agama, kegiatan ini menjadi ruang untuk mengartikulasikan kepada audiens Barat tentang martabat manusia dalam perspektif Asia.

Inayah berbicara pada panel pertama dengan tema “Perspectives on Human Dignity from Religious/faith-Based Understanding.  Pada kesempatan tersebut Inayah menyampaikan bahwa Dalam dimensi vertical-transendetal (hablum minallah), Iman terhadap keesaan Allah (tauhid) di satu sisi mengharuskan seorang yang mengaku Muslim untuk tidak mempercayai keberadaan Tuhan lain. JDi sisi lain, dalam diimensi horizontal hubungan antar manusia (hablun min an-nas), tauhid mengharuskan adanya pemahaman bahwa manusia itu setara, karena hanya Allah yang Maha dan hanya takwa yang menjadi pembeda antar manusia. Hal ini sebagaimana dikonfirmasi dengan ayat 13 dalam surat al-Hujurat.

Konsep Taqwa intinya berkaitan dengan kesalehan atau tindakan Saleh yang memperhatikan batasan-batasan yang sesuai dengan norma agama. Jika dikaitkan dengan konsep tauhid, maka takwa adalah bentuk keyakinan dan tindakan atau praktek yang didasarkan pada keimanan akan keesaan Allah, dan terwujud dalam pengakuan terhadap kesetaraan manusia. Bentuk ketakwaan seseorang seharusnya direalisasikan dalam praktek yang menyetarakan antar manusia, termasuk menyetarakan manusia laki-laki dan manusia perempuan. Taqwa adalah sebuah keseimbangan keseimbangan antara keyakinan dan tindakan individu dalam hubungannya dengan Allah, dan hubungan dalam kehidupan sesama manusia. Taqwa dengan demikian berkaitan dengan etika dan moral, baik etika seorang Muslim kepada Allah maupun etika dengan sesama manusia.

 

Konsep takwa sebagai basis etika dan tindakan saleh inilah yang menjadi penjamin terwujudnya Islam rahmatan lil Alamin (Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam), sebgaimana idealism diturunkannya Nabi Islam, Muhammad SAW (“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [Al-Ambiya (21):107]). Konsep rahmat bagi semesta ini termanifestasi dalam prinsip2 normatif yang dipegang oleh setiap Muslim, apapun alirannya, yaitu diantaranya: Tauhid atau prinsip kesatuan (QS. al-Ikhlas[112]:1); Pluralitas/Keberagaman (Ali Imran: 64); Anti Penghinaan/Mencela (QS al-Hujurat [49], 11); Keadilan (QS. al-Ma’idah [5]: 8); Penghormatan (An Nisa: 86); Anti Pengrusakan (QS ar-Rum [30], 41);  Musyawarah  (QS. As-Syura [42], 38); Kesetaraan (QS. As-Syura [42], 38); Anti kekerasan, Perintah bersikap lembut QS Ali Imran [3], 159; 32. Ayat terakhir ini misalnya, menyatakan (Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu); (Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia).

Meskipun pada level normative semua Muslim menerima prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sebagai dasar membangun hubungan vertical maupun horizontal, namun pada kenyataannya pemahaman dan praktek Islam beragam. Hal ini salah satunya disebabkan karena perintah Tuhan Selalu bertumpu pada teks, sedang teks sendiri sepenuhnya bertumpu pada alat perantara bahasa yang mempunya realitas objectivenya sendiri. Teks pada hakikatnya Bersifat Polisemic Terbuka (Asma Barlas, 2002), dan pada dasarnya terbuka untuk dibaca dengan cara yang bervariasi tergantung pada horison, perspektif readers. Kehadiran teks tentu memunculkan berbagai bentuk pemaknaan dan pemahaman yang berbeda-beda. Perbedaan pemahanan dan pemaknaan disebabkan karena keragaman setiap para pembaca dengan berbagai macam kompleksitas latar belakang kehidupan mereka  (Komarudin HIdayat, 2020).

Semua Muslim menerima prinsip bahwa Tuhan dan Nabi adalah pemegang otoritas sebenarnya dalam Islam. Otoritarianisme dalam pemahaman agama dianulir oleh teks al-Qur’an (Al-Mudatsir (74): 31) yang menegaskan bahwa Tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan DIA sendiri). Ayat ini menganulir segala bentuk otorianisme, karena tidak seorangpun boleh mengklaim telah mencapai derajat sebagai tentara Tuhan (Khaled Abou El-Fadl, 2001; 14). Namun Pemahaman teks agama yang beragam kenyataannya memunculkan perebutan otoritas. Ada proses Naturalisasi/Obyektifikasi terhadap pemahaman tertentu terhadap Teks dan pemahaman tersebut menjadi alat justifikasi untuk melakukan Tindakan yang kemudian dianggap sebagai “kebenaran sesungguhnya.” Inilah wilayah “living Islam” yang pada kenyataanya jauh lebih menantang disbanding Islam normative. Permasalahan serius yang muncul adalah ketika pemahaman terhadap teks digunakan sebagai “alat” untuk menghakimi pihak lain, menimbulkan disharmoni, mempolitisasi agama, dan merusak martabat kemanusiaan.

Beberapa persoalan krusial yang muncul dalam ranah living Islam diantaranya Pemahaman dan Praktek yang bertentangan dengan Nilai Fundamental Islam, Kekerasan atas nama Agama, Fundamentalisme/Radikalisme/Terorisme, Institutionalisasi Agama (Perda Syari’ah, Pengaruh Agama dalam Perundang2an, dll), Diskriminasi atas nama Agama, Androsentrisme, Sexisme and Patriarchy, Diskriminasi Berbasis Gender.

 

Inayah menekankan pentingnya Membangun Pemahaman dan Praktek Inklusif—Mewujudkan Islam Rahmatan lil Alamin. Apa yang bisa dilakukan oleh Lembaga Pendidikan atau faith based-organizations? Karena persoalan bersifat kompleks, di wilayah teks, pemahaman dan praktek, maka solusi terbaik adalah mengintegrasikan wilayah pemahaman dan juga praktek secara simultan.

Hal penting yang perlu dilakukan dalam ranah Pemahaman terutama dalam wilayah epistemologis-metodologis, antara lain Membangun Pemahaman Agama Berbasis Norma Ideal dg Pendekatan Inklusif. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan Nilai Universal-Fundamental Agama/Islam  sebagai paradigma atau Framework, Memahami konteks Ayat untuk melihat aspek Historis dan melakukan pembacaan hermeneutis, Membedakan antara Pesan al-Qur’an (Pesan Allah) dan Pemahaman Manusia terhadap pesan tersebut (Kritis, Hermeneutis), Memahami dan menyadari Problematika terjemahan/pemahaman   (Hermeneutis-Epistemologis), dan Melakukan Kontekstualisasi.

Selain itu, Inayah menegarkan pentingnya Menumbuhkan tiga kompetensi sebagai modal untuk mengembangkan praktek yang menjunjung tinggi Human Dignitiy. Kompetensi inilah yang kami kembangkan, Kerjasama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Leimena Institute. Kami membangun kompetensi ini di kalangan para Guru di sekolah-sekolah berbasis agama, dalam sebuah workshop yang kami beri judul “Literasi keagamaan lintas budaya” (Cross-Cultural Religious Literacy). Kompetensi dimaksud mencakup: Kompetensi Pribadi: yaitu Kemampuan individu untuk bisa memahami ajaran dan tradisi agama yang dianutnya, dan ajaran terkait dengan agama lain. Kompetensi ini menjadi dasar bagi seseorang untuk membangun relasi dengan orang atau kelompok agama yang berbeda. Kompetensi Komparatif: Kemampuan individu untuk memahami ajaran dan tradisi agama lain dari perspektif keimanan para penganutnya. Pemahaman langsung tentang agama lain dari perspektif penganut (insider) akan semakin membuat keimanan seseorang semakin kuat dan inklusif. Kompetensi Kolaboratif: Kemampuan untuk bekerjasama atau berkolaborasi dengan individu atau kelompok yang memiliki latar belakang agama, keyakinan, dan budaya yang berbeda demi tercapainya suatu tujuan atau kepentingan bersama.

 

Dalam Ranah Kelembagaan, apa yang harus dilakukan dan siapa yang siapa yang melakukan apa? Hal-hal yang idealnya dilakukan antara lain yaitu Mengembangkan Pendidikan Inklusive, Mengoptimalkan Fungsi Keluarga, Membangun Sensitifitas/kesadaran di kalangan Tokoh Agama/Tokoh Masyarakat, Promoting Peaceful Religious Practices/Gatherings, Membangun Budaya TOLERAN, dan tentu juga Pemanfaatan Media.

Tempat-tempat strategis sebagai tempat realisasi praktek yang menjunjung tingga martabat manusia, yaitu Lembaga Pendidikan (Sekolah, Pesantren, Lembaga Agama, Islamic Universities), Muslim Organizations (Nahdatul Ulama; Muhammadiyah), Lembaga Pemerintah – Ideologi NKRI, LSM (Interfaith NGO), Counter radical NGOs, Women Organizations.

Inayah menegaskan bahwa hal yang tidak kalah penting adalah bekerja di ranah Praktek. Hal ini belajar dari praktek baik yang dilakukan oleh Fakultas ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam workshop Upgrading Penyusunan RPP dan Program Berbasis Literasi Keagamaan Lintas Budaya. Program ini didesain untuk mengajak para guru di berbagai sekolah untuk mengembangkan kompetensi dan ketrampilan yang menjadi bekal untuk memperkuat literasi keagamaan Lintas Budaya. Point penting untuk membangun literasi adalah PERJUMPAAN langsung (silaturrahmi)dengan orang/kelompok agama yang berbeda. Selain itu juga Mempraktekan  Ketrampilan evaluasi, negosiasi, dan komunikasi. Evaluasi  Yaitu keterampilan untuk mengevaluasi pemahaman tentang dirinya sendiri (kesadaran diri) dan pemahaman tentang diri orang lain (understanding others), dan memahami konteks yang dihadapi, agar dapat bekerjasama lintas agama secara positive dan berkelanjutan. Negosiasi: Ketrampilan untuk menemukan kesepakatan atau titik temu ketika menghadapi perbedaan, sehingga dapat bekerjasama lintas agama secara produktif dan berkelanjutan. Komunikasi: Ketrampilan untuk melakukan komunikasi secara empatik sehingga melahirkan saling percaya, yang melandasi kerjasama lintas agama secara produktif dan berkelanjutan.

Perjumpaan dan komunikasi memungkinkan orang-orang dari agama dan budaya yang berbeda hidup berdampingan secara damai, dan untuk membangun Kolaborasi untuk kemanusiaan. Untuk. Mewujudkan hal ini diperlukan upaya untuk melibatkan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat, tokoh milenial (muda), aktifis dan pemerhati Peaceful Religious Practices/Gatherings, untuk Membangun dan menyebarkan pemahaman, budaya, praktek baik  yang  menjunjung tinggi martabat manusia, dan Pemanfaatan Media secara intensif.

Delegasi Indonesia yang hadir dalam acara tersebut adalah mitra Kerjasama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Bersama Leimena dalam program  Literasi Keagamaan Lintas Budaya sbb Prof. Dr. Inayah Rohmaniyah (Panelist), Prof. Dr. Abdul Mu'ti (Panelist), Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2022-2027, Dr. Faried Saenong (Panelist), Dosen Indonesian International Islamic University (UIII), Prof. Dr. Lukman S. Thahir (Panelist),  Universitas Islam Negeri Datokarama Palu, Dra. Yayah Khisbiyah, MA (Panelist) (Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta), K.H. Abdul Halim Mahfudz (Observer/Participant) Ketua Badan Wakaf Pesantren Tebuireng, dan Matius Ho (Observer/Participant) dari Leimena Institute.