Dekan FUPI Tekankan Trans-Queer Sebagai Bangunan Teori dan Praktek

Yogyakarta – Rumah Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Selasa, 28 Februari 2023 pada jam 09.00 mengadakan Seminar Nasional. Acara ini dihadiri oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan banyak peserta umum. Silpia selaku ketua panitia menyampaikan bahwa seminar dengan judul “Trans-Queer sebagai Basis Epistem Pemahaman dan Praktik Keagamaan yang Inklusif-Keadilan” bertujuan untuk menyampaikan/mensosialisaikan teori trans-queer yang menjadi materi dalam pengukuhan guru besar Prof. Dr. Inayah Rohmaniyah, yang merupakan Pembina Rumah Gender. Rumah Gender sendiri merupakan Pusat Studi yang ada di FUPI yang fokus mengkaji isu-isu gender, dan salah satu agendanya adalah menciptakan lingkungan yang bersih dari kekerasan seksual. Rumah Gender mengajak untuk bersama-sama mensosialisasikan isu-isu gender, dan telah mampu memberikan inspirasi berdirinya rumah gender di fakultas lain dan universitas lain. Bersama-sama menciptakan lingkungan yang adil dan ramah gender.

Selanjutnya, acara yang dimoderatori oleh Ruwaidah Anwar, S.Ag., alumni Fupi UIN Sunan Kalijaga dan pernah menulis skripsi dengan judul “peran dan kepemimpian perempuan HTI” menjelaskan bahkwa kelompok trans-queer mendapatkan diskriminasi di Indonesia, dan peran akademisi memiliki peran penting dalam hal ini.

Narasumber dalam acara ini antara lain Prof. Dr. Inayah Rohmaniyah, S.Ag., M.Hum., M.A. selaku dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Arif Nuh Safri selaku dosen di IIQ an-Nur juga sebagai ustad di pondok waria al-Fattah dan aktif di Rumah Kebaya “Rumah Aman bagi temen-temen HIV dan Trans-Puan”.

“Trans-Queer dalam konteks Indonesia adalah pertama kali secara akademik dan telah dipertanggungjawabkan dalam pengukuhan guru besar Prof. Inayah Rohmaniyah, sehingga ini merupakan salah satu dobrakan yang luar biasa”. Tegas Arif Nuh Safri

Dengan mengutip pernyataan dari Prof. Inayah, Nuh Safri menyatakan bahwa banyak krisis teori mengenai masalah ini, dalam artian tidak banyak kalangan akademisi yang berbicara teori Queer dalam konteks Indonesia. Dan ketika berbicara tentang berbicara trans-queer berarti berbicara mengenai tentang manusia dan kemanusiaan, eksistensi gender dan seksualitas yang seringnya memunculkan konflik internal, dan tidak ada yang menikmati hidup sebagai queer. Bahkan banyak konflik dalam diri mereka sebagai queer, selain coming in: berdamai dengan diri sendiri, mereka juga coming out; berusaha menyampaikan keadaan mereka kepada orang lain, agar dapat dimengerti”.

“Ketika queer berhadapan dengan masyarakat seringnya memunculkan banyak konflik, terutama konflik agama, yang inilah yang akan dikupas oleh saya bahwa queer adalah salah satu teori yang memberikan tawaran untuk mendobrak pemikiran-pemikiran normative tenteng keberagamaan gender dan seksualitas”. Tambahnya.

Selanjutnya, Inayah Rohmaniyah menyampaikan bahwa “saya menempatkan kerangka ini sebagai basis episteme penafsiran yang membahas seputar isu-isu gender dsb. Trans-queer tidak hanya sekedar bangunan teori semata, namun juga menekankan praktik. Kehadiran trans-queer mampu memastikan bahwa apa yang dibangun melalui teori telah dilakukan oleh masyarakat”. *Rosi