Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Mengadakan Field Trip serta Dialog Keagamaan

Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam bekerja sama dengan Institute Leimena dalam penyelenggaraan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang tujuannya untuk merealisasikan mimpi untuk membangun peradaban yang lebih baik, salah satunya adalah melalui dialog keagamaan. Dialog keagamaan menjadi penting, mengingat manusia semakin memahami, bahwa agama yang diyakini oleh manusia sangatlah beragam. Sehingga perlu menjalin komunikasi yang baik antar umat beragama untuk dapat membangun peradaban yang lebih baik.

Pada hari Minggu 26 Juni 2022, Fakultas Ushuluddin bersama tim Leimena, serta peserta dari program LKLB (Literasi Keagamaan Lintas Budaya) yang merupakan perwakilan para guru mengadakan field trip di dua tempat keagamaan. Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gondokusuman, dan Wisma Sang Penebus yang merupakan rumah studi bagi para calon pastor atau biasa dikenal sebagai frater. Selain field trip, teknik FGD (focus group discussion) juga diterapkan agar para peserta dapat menyerap lebih banyak ilmu dan pembelajaran dari perwakilan pendeta ataupun frater.

Field trip pertama dilaksanakan di Gereja Kristen Jawa Gondokusuman, yang merupakan salah satu gereja tertua di Yogyakarta. GKJ Gondokusuman berlokasi di Jl. Dr. Wahidin Sudrohusodo No. 40 Klitren didirikan pada tahun 1913 M. Kendati sudah 109 tahun berdiri, Gereja Kristen Jawa Gondokusuman masih berdiri dengan kokoh hingga saat ini, bahkan GKJ Gondokusuman telah memiliki 18 wilayah pelayanan yang tersebar di seluruh wilayah Yogyakarta. Dalam sambutannya, Pendeta Natalina sebagai perwakilan GKJ Gondokusuman menyambut dengan suka cita para peserta yang berkunjung ke gereja “Semoga melalui perjumpaan ini menjadi langkah awal untuk saling mengenal”.

Field trip kedua dilaksanakan di Seminari Tinggi Kongregasi CSsR Wisma Sang Penebus yang berlokasi di Jl. Monjali No. 40 C Rt 02 Rw 043 Gemawang, Sinduadi. Wisma Sang Penebus didirikan sejak tahun 1978 masehi. Wisma Sang Penebus merupakan tempat belajar bagi calon pastor atau imam gereja Katolik, atau biasa dikenal juga sebagai frater. Hingga saat ini Wisma Sang Penebus memiliki kurang lebih 70 frater yang terbagi menjadi enam kelas, sesuai dengan tingkatan semester yang sedang mereka tempuh. Mengingat selain belajar di wisma, para frater juga menjalani studi akademis formal di Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Romo Enos Bulu Bali selaku Rektor atau kepala asrama Wisma Sang Penebus, menyambut hangat para peserta yang telah hadir.

“Selamat datang di rumah kami, kami sangat senang, karena kehadiran ini menjadi berkat bagi kami untuk saling mengenal saudara-saudari dari tempat yang berbeda, serta kepercayaan yang berbeda juga. Tetapi kita satu, orang Indonesia, juga dengan budaya, dengan latar belakang apapun yang berbeda. Tapi kita berhimpun di satu bumi pertiwi, Indonesia.”

“Semoga dengan pertemuan ini, kita saling mengenal banyak hal baru, saling memperkaya dan memperteguh persaudaraan kita, di Indonesia ini”. Mengingat Indonesia merupakan negara yang beragam, yang memiliki latar belakang yang berbeda. Sehingga hal tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk dapat berkomunikasi dengan baik, serta menjalin suatu hubungan yang baik pula. Dialog keagamaan merupakan salah satu langkah awal untuk dapat mewujudkan hal tersebut.

Dr. Inayah Rohmaniyah M,A., M.Hum selaku Dekan Fakultas Ushuluddin menyampaikan banyak terimakasih kepada para ketua majlis, karena telah menerima kehadiran peserta untuk belajar dengan rasa nyaman, dan diberikan sentuhan damai. Sehingga peserta dapat saling belajar satu sama lain.

Para peserta LKLB juga sangat antusias untuk mengkuti rangkaian kegiatan field trip dialog keagamaan. Para peserta banyak menanyakan latar belakang serta kegiatan apa saja yang ada di GKJ maupun Wisma Sang Penebus.

Peserta yang dibagi menjadi grup-grup kecil, memungkinkan mereka untuk mengajukan banyak pertanyaan, seperti alasan mengapa para pendeta di GKJ serta frater di Seminari memilih jalan untuk menjadi pelayan umat? Pendeta dan frater memiliki jawaban yang serupa, yakni panggilan Tuhan yang tidak bisa diabaikan.

Bukankah ketika menjadi seorang pelayan umat, waktu untuk keluarga menjadi berkurang, bahkan tidak diperbolehkan menikah, mengapa anda tetap mengambil jalan tersebut? Dalam hal ini pendeta dan frater memiliki jawaban yang berbeda. Memang waktu untuk keluarga berkurang, akan tetapi pendeta Kristiani diperbolehkan untuk menikah. Berbeda dengan frater atau pastor yang menganut agama Katolik, mereka tidak menikah dengan manusia, karena ketika seorang frater menjadi pastor secara tidak langsung mereka juga telah menikah dengan gereja, gereja dalam hal ini adalah umat-Nya. Oleh karena itu para frater ataupun pastor rela meninggalkan keluarganya di rumah dalam waktu yang lama demi melayani umat Katolik.

Melalui kegiatan field trip dan dialog keagamaan, para peserta mendapatkan pengalaman yang berharga, bahwa untuk tidak menaruh curiga, seseorang harus berkomunikasi dengan baik. Bahwa untuk bisa bekerjasama, antar umat beragama harus saling percaya.

Diharapkan melalui kegiatan tersebut, para peserta yang merupakan para guru dapat melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, dengan menerapkan program pembelajaran yang bebasis literasi keagamaan dan lintas budaya, yang dimulai dari ruang kelas kemudian kepada masyarakat.*Fathur-Hasna