Pekan Raya IAT 2021: “Melihat Wajah Islam Indonesia melalui Media Sosial Zaman Kiwari”

Kamis (14/10/2021), Pada puncak acara Pekan Raya IAT Tahun 2021, Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (HMPS IAT) menyelenggarakan Webinar Nasional . Webinar ini bertajuk “Melihat Wajah Islam Indonesia melalui Media Sosial Zaman Kiwari”, dilaksanakan secara daring dengan menghadirkan dua narasumber yang cukup terkenal, yaitu Habib Husein Ja’far Al-Haidar, seorang Dai muda, dan Miski Mudin, Sekretaris Prodi IAT UIN Maulana Malik Ibrahim.
Silpia, Ketua HMPS IAT 2021, mengatakan, selain untuk memeriahkan acara Pekan Raya IAT 2021, acara ini juga bertujuan untuk mengedukasi mahasiswa perihal keadaan islam di zaman sekarang, terutama dalam kacamata media sosial. Menurutnya, tema ini adalah tema yang perlu diangkat karena kesesuaiannya dengan kondisi zaman sekarang. Dengan terlaksananya webinar ini, wanita asal Jambi itu berharap, mahasiswa dapat mengerti bagaiamana kondisi islam terkini dan dapat mengambil peran menghadapi realita yang ada.
“supaya mahasiswa tahu, peran kita di zaman kiwari ini bagaimana.” ujarnya.
Sebelum dimulainya pematerian, Miftahurrahman sebagai moderator memberikan gambaran pentingnya tema tersebut. ia berpendapat, saat ini islam berkembang pesat melalui media sosial. oleh karena itu, maka ia menganggap penting untuk melihat kondisi islam Indonesia dalam kacamata media sosial.
“baik dari anak kecil atau sampai nenek-nenek dan kakek-kakek semua memegang media sosial. dan itu sangat memepengaruhi pemahaman keagamaan kita. makanya penting untuk melihat bagaiamna islam di Indonesia, khususnya di sosial media” tuturnya
Pematerian kemudian dimulai setelah moderator membacakan CV pemateri. Miski ditunjuk oleh moderator untuk menjadi pemateri pertama yang memaparkan tema. Sekretaris Prodi IAT UIN Malang itu mengatakan, untuk melihat wajah islam di media sosial, seseorang bisa jadi mampu untuk melihatnya, mungkin untuk melihatnya, atau bahkan tidak mungkin bisa melihatnya. Seseorang bisa dikatakan mampu melihat islam dalam bingkai tersebut, apabila dia dibatasi dengan batas-batas tertentu, islam yang seperti apa, media sosial yang mana, dan bagaimana cara memandangnya. Pasalnya, islam dalam media sosial merupakan suatu yang komplek dan universal. Oleh karena itu, bisa dikatakan mustahil untuk melihat seluruh islam dalam seluruh media sosial yang ada.
Terlepas dari mampu atau tidaknya melihat islam dalam bingkai media, Miski juga menjelaskan polarisasi islam dalam media. Sambil menunjukkan foto Quraisy Shihab, Habib Husein Ja’far, dan penyiar islam damai lainnya, ia menjelaskan bahwa melalui foto-foto tersebut, masyarakat dapat memandang islam sebagai agama yang damai. Namun di sisi lain, ada beberapa golongan yang mencoba untuk menerangkan agama secara tekstual. Golongan ini menginginkan islam persis sebagaimana di masa rasul, tanpa memperhatikan aspek konteks yang ada. Ciri khasnya adalah memiliki semangat menghakimi yang lebih besar daripada semangat memahami. Hal itu, menurut Miski, tidak seharusnya dilakukan. Karena, islam di masa lalu pun masih menyesuaikan pada konteks.
“kalau ada yang mengutip kitab-kitab, tapi tidak memperhatikan konteks maka bisa jadi kita melakukan hal yang seharusnya tidak kita lakukan,” tuturnya saat menerjemahkan salah satu teks kitab.
Tidak jauh berbeda dengan Miski, Habib Husein Ja’far juga menjelaskan tentang wajah islam di dunia gital. Dalam penjelasannya, dai muda itu memaparkan tujuh wajah islam. Di antara yang tujuh itu adalah wajah islam dalam dunia digital yang lebih menampakkan fiqih sentris. Dibanding menjadi agama kasih sayang, islam di sini lebih dipandang sebagai agama hukum yang tegas dan kaku. Padahal, sekalipun memang memegang hukum, islam pun tidak kekurangan nilai-nilai kasih sayang.
Webinar ini berhasil menarik masa yang cukup banyak. Setidaknya ada lebih dari dua ratus peserta yang ikut memeriahkan acara tersebut. Penyaji dan tema yang menariklah, menurut Silpia, yang dapat menarik masa yang tidak sedikit itu.