Dilihat 0 Kali

UIN SUKA

Senin, 12 April 2021 15:15:15 WIB

Belajar dari Murtadha Muthahhari

Rausyan Fikr baru-baru ini tepatnya Kamis, 8 April 2021 menggelar dialog Filsafat Islam dan Keindonesiaan Kita. Tema yang diangkat “Islam, Keulamaan dan Intelektualitas”. Peserta yang hadir cukup meramaikan acara meskipun selama pandemi ini acara hanya dilakukan via zoom meeting.

Dr. Robby Habiba Abror, selaku dosen sekaligus Wakil Dekan Bidang II Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga diundang sebagai pembicara.

“Murtadha Muthahhari dan karyanya senantiasa hidup di zaman sekarang. Dan saya sependapat dengan bagaimana citra keulamaan dan intelektual dari Murtadha Muthahhari yang masih terbangun hingga sekarang”, ia mengawali pembicaraan.

”Jika orang pernah membaca Gerakan revolusi Iran, maka ia termasuk pahlawan besar Iran. Dan kuat dalam hal filsafatnya. Karena beliau menyukai filsafat, teologi, dan Irfan. Murtadha Muthahhari sejajar dengan filsuf muslim terdahulu yang menguasai beberapa rumpun ilmu seperti filsafat, etika, adab, hukum, dan lain sebagainya”. Sambungnya

Robby juga menyampaikan tak hanya kuat pada filsafatnya, melihat bagaimana Murtadha belajar dari gurunya, sudah barang tentu ia kuat  pada pemahaman dan pembacaannya terhadap Al-Quran baik tafsir maupun ayat-ayatnya. Seperti dalam tafsir tematiknya, beliau sangat runtut sehingga tafsirnya relevan sampai saat ini. Dan pada akhirnya, itu membuat sosoknya masih hidup hingga sekarang. Bahkan ia pernah berkata senjata revolusi adalah filsafat. Dan bagi dia, justru menjadi cara untuk memformulasikan Islam. Dan ia mencoba merekonstruksi Islam yang berwatak filosofis tanpa menghilangkan keislamannya.

Cara dia mesintesiskan refleksi dengan corak batiniah sehingga membuat ketenangan. Beliau juga sosok orang yang pemberani, baik dalam menulis bahkan ia terlibat dalam skema perlawanan terhadap rezim Reza Pahlevi. Sehingga tahun 79, Murtadha Muthahhari di bunuh oleh kelompok furqad.

“Saya ingin melihat gelora menggambarkan sosoknya. Bahkan pada saat mau meninggal Khomeini menyatakan bahwa Murtadha Muthahhari adalah anak yang paling ia sayangi.” Tambahnya

Dengan kematian Murtadha bukan berarti revolusi mati. Tidak, justru itu membentuk infrastruktur revolusi yang baru.

Robby menyoroti bagaimana kita bisa belajar dari Murtadha sehingga kita bisa mengaplikasikannya di zaman saat ini. Bahkan ia membongkar sisi intelektual dan keulamaan Murtadha melalui kitab-kitabnya. Salah satu pertanyaan yang ia layangkan adalah apa latar belakang beliau kuat bacaan Qurannya, filsafatnya, dan pemberani?

Ternyata jawabannya ada pada teladan moral dan akhlak dalam tradisi Iran yang timbul dari ulama Iran misalnya tawassulnya ahlul bait, peran imam Sajjad. Adapun faktor konstruksi jiwa lah syarat untuk menjadi jiwa yang kuat, menyuarakan kema’rufan, kecintaannya mencintai Al-Quran. Adapun konstruksi jiwa itu dibentuk dengan beberapa cara:

Pertama muraqabat (mawas diri) yakni selalu di awasi Allah di mana pun berada, kedua muhasabbah diri yakni mengoreksi diri sendiri dan selalu memperbaiki kesalahan, dan jangan lupa diri. Ketiga, musyaratthah “setiap orang harus menetapkan janji untuk melakukan dua kategori di atas. Keempat, muattabah yakni mengecam perbuatan. Muawwabah, memberi hukuman pada diri sendiri apabila diri melakukan kesalahan atau misalnya mewajibkan diri puasa, sedekah, dan amalan lainnya, kalau di Muhammadiyah adalah mendorong diri untuk selalu bersedekah untuk kemanusiaan.

“Begitulah kira-kira kita bisa mentauladani apa yang Murtadha bangun hingga sekarang”. Tutupnya