Dilihat 0 Kali

05_867_WhatsApp Image 2025-11-10 at 16.37.24.jpeg

Senin, 10 November 2025 16:55:00 WIB

Prodi AFI IAIN Ambon Hadirkan Dekan FUPI UIN Sunan Kalijaga, Pakar Filsafat UGM, dan Pimpinan IAIN Ambon: Kupas Tuntas Tantangan Kemanusiaan di Era Akal Imitasi (AI)

Ambon – Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUD) IAIN Ambon sukses menyelenggarakan Seminar Nasional dalam format Webinar Filsafat pada Senin, 10 November 2025. Mengusung tema “Manusia di Tengah Disrupsi Teknologi: Refleksi Filsafat tentang Makna dan Kemanusiaan di Era Digital”, seminar ini menghadirkan jajaran pakar terkemuka di bidang filsafat, agama dan budaya.

Para narasumber tersebut adalah Prof. Dr. H. Robby Habiba Abror, M.Hum. (Guru Besar Ilmu Religi dan Budaya dan Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Prof. Mukhtasyar Syamsuddin, Ph.D. of Arts (Guru Besar Filsafat UGM), dan Dr. Saidin Ernas, M.Si. (Wakil Rektor 2 IAIN Ambon).

Dukungan penuh datang dari Dekan FUD IAIN Ambon, Dr. Ismail Tuanany. Beliau mengungkapkan kebahagiaannya atas kehadiran para cendekiawan tersebut. “Kami sangat mendukung acara ini. Kami berharap seminar ini dapat memberikan pencerahan dan pandangan yang cerdas atas problem kemanusiaan yang kita hadapi hari ini,” tutur Dr. Ismail.

Ketua Prodi AFI FUD IAIN Ambon, Nurfajriyani, M.Hum., menyatakan bahwa webinar ini diadakan untuk menghadirkan pemikiran solutif. “Kami berupaya menghadirkan pandangan dari para pakar filsafat, agama, dan budaya untuk menjawab berbagai tantangan kehidupan di era Kecerdasan Buatan (AI) yang semakin masif ini,” ujarnya.

Dalam paparannya, Prof. Robby menyampaikan beberapa refleksi filosofis yang tajam mengenai hubungan manusia dan Akal Imitasi (AI). Menurutnya, pemahaman masyarakat tentang risiko AI seringkali keliru. Dekan FUPI UIN Sunan Kalijaga tersebut menegaskan bahwa AI memecahkan masalah dengan cara yang “asing” bagi manusia. “Ini bukan kecerdasan manusia. AI ibarat alien, ia asing tidak kita kenal tiba-tiba saja masuk dalam kehidupan kita dan kita begitu dekat dan akrab dengannya” katanya. Ia mencontohkan kemenangan AlphaGo atas juara dunia Go dengan strategi yang tidak pernah terpikirkan oleh manusia. “Kita menciptakan sesuatu yang tidak sepenuhnya kita pahami, tidak dapat dikontrol dan suatu ketika tidak dapat kita kendalikan,” tambahnya.

Dekan FUPI UIN Sunan Kalijaga ini menyoroti bahwa risiko terbesar bukanlah pemberontakan AI seperti dalam fiksi ilmiah, melainkan kepatuhan manusia yang berlebihan terhadapnya. Sehingga kita akanmenjadi sangat tergantung terhadapnya.

“Risiko terbesar yang perlu dicermati sejak dini adalah bahwa di satu sisi AI dapat memberontak kepada penciptanya (manusia), karena akan menjadi lebih canggih dalam bentuk super intelligence AI dan berjalan sendiri untuk membaca dan mengambil keputusan, dan di sisi lain kita sebagai manusia terlalu patuh kepadanya, bahkan sangat bergantung. Kita berisiko menyerahkan kapasitas esensial kita membereskan desain masa depan, karir dan persoalan agama kepada AI demi kenyamanan dan solusi yang cepat.” Pergeseran ini, lanjutnya, mengubah posisi manusia dari agen atau subjek menjadi objek yang dikelola oleh algoritma. Manusia mulai berpikir dan bertindak seperti mesin, tiba-tiba kehilangan empati dan ingin cepat menyelesaikan sesuatu tanpa menghadirkan rasa dan kedalaman makna.

Prof. Robby mengingatkan bahwa “Akal Imitasi (AI) seharusnya yang melayani manusia, bukan sebaliknya. Otonomi manusia dan akal budi (reason) harus menjadi pemimpin. AI harus meningkatkan, bukan menggantikan, kemampuan kita mengambil keputusan dan berpikir kritis,” pungkasnya.

Sementara itu, Wakil Rektor 2 IAIN Ambon, Dr. Saidin Ernas, M.Si., yang tampil sebagai narasumber kedua, menyoroti paradoks sosial yang muncul akibat disrupsi teknologi.

Beliau memaparkan bahwa teknologi telah menciptakan ironi dalam interaksi manusia. “Manusia bisa berinteraksi lintas batas dan benua dalam detik yang sama, tapi semakin kehilangan kemampuan bertegur sapa di ruang nyata,” paparnya.

Dr. Saidin juga menyoroti krisis identitas yang dihadapi generasi muda. “Anak muda membentuk identitas diri dari algoritma media sosial, dari filter wajah hingga like dan followers,” ujarnya.

Lebih jauh, ia mempertanyakan pergeseran makna eksistensial manusia ketika AI mulai mengambil alih peran-peran kreatif dan emosional. "AI menulis puisi, melukis, bahkan memprediksi emosi manusia; sementara manusia sendiri kehilangan kedalaman makna eksistensialnya," pungkas Dr. Saidin.

Narasumber utama lainnya, Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Dr. Mukhtasyar Syamsuddin, Ph.D of Arts, menawarkan pendekatan filosofis untuk membedah problem kemanusiaan di era digital. Beliau memaparkan "Fenomenologi sebagai Metode" untuk memahami bagaimana manusia mengalami dunianya.

Prof. Mukhtasyar menjelaskan bahwa fenomenologi penting untuk mengembalikan fokus pada pengalaman manusia yang otentik, yang berbeda secara fundamental dari cara kerja AI. Mengutip Edmund Husserl, ia menekankan bahwa kesadaran manusia selalu bersifat intensional, yakni selalu ”tentang sesuatu". Ini berbeda dengan AI yang mengolah data tanpa memiliki kesadaran atau intensionalitas. Merujuk pada Martin Heidegger, ia menyebut bahwa pengalaman religius adalah bentuk otentik manusia '”being-in-the-world” (berada-di-dalam-dunia). Ia juga menyoroti pandangan Maurice Merleau-Ponty bahwa "tubuh sebagai pusat pengalaman spiritual".

“Pendekatan fenomenologi ini menegaskan bahwa aspek-aspek esensial kemanusiaan—seperti kesadaran, pengalaman religius, dan keterikatan pada tubuh—adalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh AI dan tidak dapat direplikasi oleh algoritma,” simpul Prof. Mukhtasyar. (Munawar Ahmad)