Dilihat 0 Kali

05_760_GAMBAR.jpg

Minggu, 02 November 2025 20:41:00 WIB

Dekan FUPI UIN Sunan Kalijaga, Prof Robby Abror bahas pentingnya Revitalisasi Agama di Era Akal Imitasi (AI) pada Seminar Internasional di FUAH UIN Khas Jember

JEMBER – Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora (FUAH) Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddig (UIN KHAS) Jember, Jawa Timur, sukses menggelar seminar internasional dengan tema “Revitalization of the Role of Religion in the Artificial Intelligence (AI) Era” pada Kamis, 30 Oktober 2025 bertempat di Ruang Internasional Gedung BEC UIN Khas Jember. Acara ini mengupas tuntas tantangan dan peran agama di tengah gempuran teknologi kecerdasan buatan (AI), dengan menyoroti bahaya psikologis yang mengintai penggunanya.

Seminar yang digelar di lingkungan kampus UIN Khas Jember ini dihadiri oleh jajaran pimpinan, termasuk Dekan FUAH UIN Khas Jember, Prof. Dr. H. Ahidul Asrar, M.Ag., para Wakil Dekan, Ketua Jurusan, dosen, serta dihadiri dengan antusias oleh sekitar 200-an mahasiswa.

Acara ini menghadirkan dua pembicara dari dua negara. Selain Dr. Siti Marpuah dari Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM), seminar ini juga mengundang Prof. Dr. H. Robby Habiba Abror, M.Hum, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai pembicara utama.

Dalam paparannya, Prof. Robby Habiba Abror menyampaikan analisis tajam mengenai dampak AI terhadap perilaku manusia modern. Ia menggunakan analogi klasik dari mitologi Yunani untuk menggambarkan fenomena kontemporer.

Mitos Narcissus dan Bahaya Narsisme

Prof. Robby mengawali dengan menceritakan kisah Narcissus dari Mitologi Yunani Kuno, seorang pemuda tampan namun angkuh yang menolak cinta semua Perempuan di jamannya. Akhirnya, ia dikutuk oleh Dewi Nemesis.

“Saat berlutut di tepi sungai jernih, ia melihat bayangannya sendiri dan langsung jatuh cinta, mengira itu adalah orang lain,” jelas Prof. Robby. “Narcissus akhirnya merana dan meninggal di tepi sungai karena cinta yang mustahil, yakni cinta pada dirinya sendiri. Ini adalah pelajaran penting tentang bahaya keangkuhan dan cinta diri (narsisme) yang berlebihan.”

Narcissus Modern di Tepi Sungai Digital AI

Prof. Robby kemudian menarik analogi tersebut ke era digital yang serba ditenagai AI. Ia menyebut pengguna teknologi modern sebagai “Narcissus Modern” yang haus akan validasi seperti likes dan followers.

“Jika Narcissus klasik menatap sungai dengan pantulan pasif, Narcissus modern menatap layar smartphone, yang kami sebut ‘Sungai Digital’. Pantulannya aktif dan terkurasi oleh algoritma AI,” paparnya.

Ia menegaskan bahwa AI tidak memantulkan diri kita apa adanya. Sebaliknya, AI memantulkan versi ideal atau persona digital yang ia tahu akan membuat kita terus menatap.

“Narcissus modern tidak jatuh cinta pada dirinya sendiri, melainkan pada persona digitalnya yang sempurna. Kita terperangkap merawat ‘persona online’ dan melupakan ‘diri offline’ yang asli,” tegas Prof. Robby. “Jangan korbankan diri Anda yang asli, dengan segala kekurangannya, untuk persona digital Anda yang sempurna tapi palsu.”

Kecanduan AI dan Distorsi Realitas

Lebih lanjut, Prof. Robby mengingatkan akan bahaya kecanduan digital dengan belajar dari kasus-kasus kecanduan internet dan game di masa lalu, yang terbukti menyebabkan pengabaian tanggung jawab, distorsi realitas, bahkan kekerasan.

Ia memproyeksikan AI sebagai “dunia virtual baru” yang berpotensi menciptakan ketergantungan yang jauh lebih canggih dan adiktif.

“Kesenangan dan efisiensi yang ditawarkan AI dapat membuat individu mengabaikan aktivitas fisik, interaksi manusia, dan tanggung jawab esensial lainnya,” katanya. “Ketergantungan emosional atau kognitif pada AI bisa mengikis kemampuan pengambilan keputusan independen kita.”

Sebagai penutup, Prof. Robby berpesan bahwa kemajuan AI harus dikelola dengan bijak melalui pendidikan digital dan pengembangan etika. “Kita harus memastikan teknologi melayani kita, bukan sebaliknya. Agama tidak anti mesin dan teknologi, tetapi membersamainya sebagai lentera,” pungkasnya.

Seminar berlangsung interaktif dan dinamis. Para mahasiswa menunjukkan antusiasme yang tinggi, terlihat dari banyaknya pertanyaan dan diskusi yang berlangsung hingga acara selesai. (Munawwar Ahmad)

berita Terbaru